Minggu, 08 Desember 2013

AS Juga Sadap Yahoo dan Google




Badan Keamanan Nasional AS (NSA) menyadap pusat data Yahoo dan Google, demikian menurut bocoran intelijen Edward Snowden.

Dalam laporan yang disampaikan Washington Post disebutkan bahwa jutaan data dikumpulkan tiap hari dari jaringan internal perusahaan internet raksasa tersebut.

Namun, laporan ini dibantah oleh Direkur NSA Jenderal Keith Alexander yang mengatakan tidak memiliki akses ke komputer Google dan Yahoo.

Kepada Bloomberg TV, Keith Alexander mengatakan, "Kami tidak memiliki otorisasi untuk masuk ke server dan mengambil data perusahaan AS."

Bagaimanapun ini bukanlah bantahan pertama atas klaim spionase yang dilakukan badan ini.

Pengumpulan informasi

Dalam dokumen bocoran Snowden terbaru disebut bahwa NSA menyadap data dalam satu waktu saat melintasi kabel optik dan perlengkapan jaringan lain yang tersambung dengan pusat data Google dan Yahoo.

Penyadapan ini mengumpulkan sejumlah informasi mulai dari metadata hingga teks, audio, dan video, yang kemudian disaring dengan program NSA yang bernama Muscular, dioperasikan bersama rekan NSA dari Inggris, GCHQ.

Sebelumnya NSA sudah memiliki "pintu masuk" ke akun Google dan Yahoo melalui sebuah program yang disetujui pengadilan bernama Prism.

Pengungkapan penyadapan terbaru ini muncul beberapa jam setelah delegasi pejabat intelijen Jerman tiba di Washington untuk berbicara dengan Gedung Putih menyusul klaim yang menyebut AS menyadap telepon genggam Kanselir Angela Merkel.

Angela Merkel menanggapi serius isu penyadapan ini dengan mengirim dua orang penasihat utamanya, yaitu penasihat kebijakan luar negeri Cristoph Heusgen dan koordinator intelijen Guenter Heiss, untuk membicarakan masalah ini.

Pekan depan, kepala badan spionase Jerman juga akan berkunjung ke Washington.

Pertemuan ini dianggap sebagai upaya untuk membangun kembali kepercayaan dan bagaimana badan intelijen kedua negara mungkin atau tidak untuk bekerja dalam satu harmoni.

Kepala badan intelijen AS selama ini membela kebijakannya mengawasi para pemimpin negara asing sebagai kunci operasi, tetapi hal ini justru memicu kemarahan dari para sekutu yang turut disadap, seperti Jerman, Perancis, dan Spanyol.

Pendiri Path Buka-bukaan soal Indonesia




Path merupakan pendatang baru di ranah jejaring sosial yang meraih popularitas dalam waktu relatif singkat. Jumah anggotanya pun meningkat pesat, termasuk di Indonesia, yang menunjukkan bahwa layanan ini berhasil menarik hati pengguna dari berbagai kategori usia.

Angka anggota aktif Path di Indonesia pun ternyata yang terbesar di dunia, dengan jumlah mencapai kisaran 4 juta orang, sebagaimana diungkapkan oleh pendiri dan CEO Path, Dave Morin, dalam wawancara dengan situs Daily Social.

Menurut Morin, yang sedang berkunjung ke Jakarta, para pengguna Path dari Indonesia ini sangat aktif dan setiap harinya menyumbang sekitar setengah dari keseluruhan aktivitas di Path. Dengan kata lain, 50 persen pengguna aktif harian Path berasal dari Indonesia.

Secara bulanan, Indonesia menyumbang 30 persen trafik internet Path, disusul oleh Amerika Serikat yang sama-sama menyumbang 30 persen. Negeri Paman Sam ini juga merupakan basis pengguna Path terbesar kedua di dunia setelah Indonesia. Sisanya sebanyak 40 persen datang dari negara-negara lain.

Pihak Path yang diwakili The Hatch Agency juga mengklarifikasi perihal rencana merilis aplikasi Path untuk BlackBerry, seperti yang disebut Morin dalam wawancara dengan TV One, Jumat (1/11/2013). Mengoreksi ucapan Morin, Path mengatakan belum berencana mengembangkan aplikasi untuk platform BlackBerry.

Path sendiri hingga akhir kuartal II 2013 lalu tercatat memiliki 12 juta pengguna yang berasal dari pengguna perangkat Android dan iOS. Saat ini, tim Path sedang fokus mengembangkan aplikasi untuk Windows Phone.

Path sejatinya adalah jejaring sosial yang bersifat personal. Jejaring sosial ini sengaja membatasi jumlah pertemanan hanya untuk 150 orang, untuk mengembalikan "arti berjejaring yang sesungguhnya".

Didirikan pada 2010, Path saat ini diasuh oleh sekitar 50 karyawan yang berbasis di San Francisco, California, AS. Mereka juga punya kantor di Tokyo, Jepang, untuk memantau pasar Asia, yang di dalamnya terdapat banyak negara berkembang.


Indonesia Disadap, Operator Diminta Periksa Ulang Jaringan




Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring meminta operator telekomunikasi di Indonesia untuk memeriksa jaringan karena ada kekhawatiran, jaringan tersebut dipakai untuk menyadap pejabat Indonesia oleh Pemerintah Australia.

Pada Kamis (21/11/2013), di kantor Kemenkominfo di Jakarta, Tifatul menggelar rapat dengan petinggi perusahaan telekomunikasi di Indonesia. Ia meminta perusahaan telekomunikasi memeriksa dan mengevaluasi ulang seluruh sistem keamanan jaringan.

"Kami instruksikan mereka untuk memeriksa apakah ada penyusup gelap penyadapan oleh oknum swasta ilegal. Kami juga minta pengetatan soal perlindungan data pelanggan, registrasi, dan informasi pribadi," kata Tifatul.

Tifatul mengatakan, operator telekomunikasi juga harus memeriksa ulang keamanan jalur komunikasi yang dipakai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono. Keamanan jalur komunikasi RI-1 dan RI-2 ini harus memenuhi standar keamanan VVIP.

Perangkat lunak yang digunakan operator telekomunikasi juga harus diaudit. Dikhawatirkan, ada program berbahaya yang disisipkan oleh vendor penyedia infrastruktur serta layanan telekomunikasi.

Operator telekomunikasi harus menyerahkan hasil evaluasinya dalam sepekan kepada Kemenkominfo. "Kita minta klarifikasi dan hasil audit mereka. Jika ada pelanggaran, maka akan kita kenai sanksi sesuai UU Telekomunikasi dan UU ITE," ujar Tifatul.

Direktur Jaringan Telkomsel Abdus Somad mengatakan, sejauh ini pihaknya telah memenuhi semua standar dan prosedur yang berlaku, baik itu mengikuti standar International Telecommunication Union (ITU) maupun Global System for Mobile Association (GSMA).

"Apakah ada penyusup di dalam? Secara prosedur tidak ada karena semua sudah sesuai aturan," terang Abdus.

Aksi penyadapan bertentangan dengan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, yang melarang setiap orang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi. Penyadapan juga dilarang dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Ancaman pidana terhadap kegiatan penyadapan, sebagaimana diatur dalam Pasal 56 UU Telekomunikasi, adalah kurungan penjara maksimal 15 tahun. Sementara itu, di Pasal 47 UU ITE, hukuman maksimal atas kegiatan penyadapan adalah penjara 10 tahun atau denda paling banyak Rp 800 juta.

Menurut Tifatul, penyadapan dimungkinkan untuk tujuan hukum. Ada lima aparat penegak hukum yang berwenang melakukan penyadapan, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian, Kejaksaan, Badan Intelijen Negara (BIN), dan Badan Narkotika Nasional (BNN).

Mengupas Buku Sejarah Twitter Penuh Intrik





Sebuah buku yang ditulis oleh kolumnis The New York Times, Nick Bilton, mengungkap tentang sejarah Twitter yang penuh intrik.

Buku yang berjudul “Hatching Twitter: A True Story of Money, Power, Friendship, and Betrayal” itu berpusat pada empat karakter pendiri Twitter, serta CEO Twitter saat ini, Dick Costolo.

Twitter didirikan oleh Evan Williams, Jack Dorsey, Christopher “Biz” Stone, dan Noah Glass, pada tahun 2006. Jejaring sosial berbasis microblog itu lahir setelah Odeo, startup (perusahaan rintisan) yang dibangun oleh Glass dan Williams pada tahun 2005, gagal.

Odeo fokus pada layanan podcasting. Kedua pendirinya mundur dari bisnis tersebut setelah iTunes Store milik Apple muncul dengan layanan serupa.

Glass dan Williams lalu berdiskusi dengan rekan mereka, Jack Dorsey, yang saat itu tengah mengembangkan sebuah layanan messaging yang unik.

Singkat cerita, akhirnya mereka bertiga bersama Biz Stone membangun sebuah startup baru bernama Obvious Corp.

Di bawah Obvious Corp, mereka mengembangkan beberapa aplikasi, termasuk aplikasi messaging dengan kode nama “Twttr”. Mereka menambahkan dua huruf vokal ke dalam kode nama aplikasi itu, menjadi Twitter, dan merilisnya pada tahun 2006.

Sepenggal cerita itu mungkin sudah pernah kita dengar ataupun baca. Tetapi, buku yang ditulis oleh Bilton mengulik lebih dalam tentang tahun-tahun pertama Twitter berdiri.

Selain memaparkan berbagai masalah internal perusahaan, Bilton juga menggambarkan dengan detail karakter dan peran setiap orang penting yang membentuk Twitter.

Evan Williams, misalnya, adalah anak petani dari Nebraska. Sebelum memulai Twitter, pemuda yang ambisius itu sudah sukses dengan layanan buku harian online-nya, Blogger. Pada tahun 2003, Williams menjual Blogger kepada Google dengan harga jutaan dollar AS.

Di tahun-tahun pertama Twitter, Williams menghidupi perusahaan dengan kekayaannya. Dia menghadapi berbagai pilihan yang sulit dan mengambil beberapa keputusan yang cukup sadis, seperti memecat Glass, rekannya sesama co-founder, serta para karyawan pertama Twitter yang tak lain adalah teman-temannya sendiri.

Sosok lainnya, Jack Dorsey. Pada tahun 2006 Dorsey belum dikenal siapa-siapa. Dia hanyalah pria biasa yang memiliki konsep awal mengenai Twitter. Sekarang, setelah Twitter sukses besar, Dorsey bukan hanya dikenal sebagai jutawan teknologi, tetapi juga digadang-gadang sebagai salah satu orang yang berpotensi untuk menjadi “the next Steve Jobs”.

Yang ketiga, Biz Stone. Pria yang satu ini mudah bergaul. Berkat kemampuannya berdiplomasi, Stone menjadi satu-satunya co-founder yang tak memiliki musuh. Dia pun masih berhubungan baik dengan teman-teman lain yang punya andil dalam pendirian Twitter.

Co-founder keempat, Noah Glass, adalah sosok “geek” yang pernah menginvestasikan waktunya demi Twitter. Meskipun begitu, nasib Glass di perusahaan itu tak berakhir indah. Pada akhirnya, dia ditendang dari Twitter.

Ketika menyusun buku Hatching Twitter, Bilton melakukan investigasi mendalam dan mencari informasi dari berbagai sumber, termasuk dokumen-dokumen dan e-mail internal Twitter.

Dalam bukunya, ia memaparkan bagaimana keempat pendiri Twitter berjuang untuk mendapatkan uang, pengaruh, serta kendali atas perusahaan mereka yang terus berkembang. Meskipun begitu, pada akhirnya, tak ada satupun dari mereka yang memegang kendali atas perusahaan itu. Tak ada satupun dari mereka yang bertahan menjadi CEO.

Pada Oktober 2010, Dick Costolo, mantan komedian berusia 50-an tahun yang kala itu menjabat sebagai Chief Operating Officer (COO) Twitter, ditunjuk untuk menggantikan posisi Evan Williams sebagai CEO.

Hingga kini, Twitter terus bertumbuh. Twitter telah menjadi alat marketing dalam bisnis, menjadi media kasual untuk berkomunikasi, bahkan menjadi alat kampanye dalam berpolitik. Sekarang, orang-orang biasa hingga tokoh-tokoh penting seperti para pemimpin negara, Paus, selebritis, serta penyiar radio dan televisi, sudah menggunakan Twitter.

Pada tahun 2013, sudah ada sekitar 300 juta akun pengguna aktif yang terdaftar dalam jejaring sosial ini. Menurut data yang dilansir oleh NYTimes.com, setelah 7 tahun berdiri, Twitter sudah memiliki lebih dari 2.000 orang karyawan, lebih dari 200 juta pengguna aktif, serta estimasi market value hingga 16 miliar dollar AS. Setelah melakukan IPO (initial public offering), para co-founder dan investor Twitter dipastikan akan bertambah kaya.


Begini Cara NSA Menyadap Google dan Yahoo




Bukan hanya pejabat negara yang disadap oleh Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat atau National Security Agency (NSA), perusahaan internet besar seperti Google dan Yahoo juga jadi korban penyadapan.

Hal ini tentu membuat waswas pengguna Google dan Yahoo, terlebih bagi mereka yang menggunakan layanan pesan elektronik GMail dan Yahoo Mail.

NSA menyadap perusahaan internet dengan cara amat halus, tanpa membobol sistem keamanan pusat data. Diduga, program mata-mata atau penyadapan NSA menyusup lewat infrastruktur utama (backbone), termasuk kabel serat optik yang menghubungkan internet di seluruh dunia.

Sumber-sumber yang memiliki banyak pengetahuan tentang infrastruktur Google dan Yahoo mengatakan kepada The New York Times bahwa NSA menyadap perusahaan internet melalui kabel serat optik milik perusahaan telekomunikasi besar, seperti Verizon Communications, BT Group, Vodafone Group, dan Level 3 Communications.

The New York Times menyebut, Level 3 merupakan perusahaan penyedia jaringan backbone terbesar di dunia yang kabel serat optiknya digunakan oleh Google dan Yahoo.

Agar layanan perusahaan internet dapat digunakan secara masif, pusat data harus terhubung dengan kabel serat optik perusahaan telekomunikasi. Menurut sumber The New York Times, informasi yang tidak terenkripsi dan ditransmisi melalui kabel fiber optik menjadi target penyadapan NSA.

Begitu mengetahui layanannya disadap dan sebagai tanggapan atas kerentanan tersebut, Google dan Yahoo sekarang mengenkripsi data yang berjalan antara pusat data mereka dan kabel serat optik. Microsoft sedang mempertimbangkan langkah serupa.

"Semua orang begitu terfokus pada NSA yang diam-diam mendapatkan akses ke pintu depan. Selama ini ada asumsi mereka tidak akan main belakang dengan perusahaan dan melakukan penyadapan data melalui pintu belakang," kata Kevin Werbach, seorang profesor di Wharton School.

Peran perusahaan telekomunikasi

Berbasis di kota Broomfield, Colorado, AS, nama Level 3 Communications memang tidak setenar AT&T atau Verizon. Namun, dalam hal kemampuan membawa lalu lintas data, Level 3 membawa data lebih besar dari dua perusahaan telekomunikasi yang digabungkan.

Peralatan jaringan telekomunikasi mereka ditemukan di 200 pusat data di Amerika Serikat, lebih dari 100 pusat data di Eropa, dan 14 pusat data di Amerika Latin.

Level 3 tidak secara langsung menanggapi pertanyaan tentang apakah mereka mengizinkan NSA atau badan intelijen lainnya untuk masuk ke jaringan serat optik, dan mengakses data pengguna Google dan Yahoo.

Dalam sebuah penyataan kepada The New York Times, Level 3 mengatakan, "Ini adalah kebijakan kami dan praktik kami untuk mematuhi undang-undang di setiap negara tempat kami beroperasi, dan akses lembaga pemerintah ke data pelanggan hanya dimungkinkan ketika kita dipaksa melakukannya oleh hukum di negara ini tempat data tersebut berada."

"Kami adalah pihak yang membuat perjanjian dengan Departemen Keamanan Dalam Negeri AS, Hukum dan Pertahanan, dalam menangani keamanan nasional dan penegakan hukum Pemerintah AS."

Perusahaan Verizon Communications mengakui, pihaknya dan perusahaan telekomunikasi lain dipaksa memenuhi permintaan dari pemerintah di setiap negara tempat mereka beroperasi.

"Pada akhirnya, jika Departemen Kehakiman muncul di depan pintu Anda, maka Anda harus mematuhinya," kata CEO Verizon Communications, Lowell C McAdam, dalam wawancara pada September lalu.

-